Kenapa bunga pinjaman online P2P lebih tinggi daripada bunga kredit bank? Benarkah ada permainan?
Di masyarakat, pemberian pinjaman dengan bunga tinggi disebut juga sebagai praktik rente, dan pemberi pinjaman yang demikian sering dijuluki rentenir. Di dunia usaha, permainan dalam penetapan bunga pinjaman tinggi bisa dikategorikan sebagai praktik kartel atau kesepakatan oleh sekelompok penyedia pinjaman dalam menetapkan besar bunga pinjaman.
Baru-baru ini, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) diketahui sedang meneliti kemungkinan adanya pelanggaran oleh sekelompok lembaga pinjol (pinjaman online) P2P, atau peer to peer lending, yang diduga menetapkan bunga pinjaman uang terlalu tinggi. KPPU mengaku sudah berkonsultasi dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia) terkait penetapan bunga pinjaman FinTech atau teknologi finansial, dan sedang mencari bukti apakah terjadi pelanggaran.
Dugaan KPPU Terkait Bunga Tinggi Pinjaman Online
Pada 26 Agustus 2019, Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih memberikan pernyataan bahwa sejumlah lembaga pemberi pinjaman FinTech menetapkan bunga pinjaman terlalu tinggi, sehingga ia menduga adanya praktik kartel atau kesepakatan bersama untuk menguasai persaingan di pasar.
Guntur mempertanyakan bunga tinggi pinjaman online dibandingkan dengan besar bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam penilaiannya, mekanisme pinjaman online atau digital seharusnya lebih efisien daripada pinjaman konvensional sehingga suku bunga FinTech P2P (peer to peer) semestinya lebih rendah.
Menyebut bahwa beberapa pemberi pinjol mungkin menetapkan bunga pinjaman terlalu tinggi, rata-rata 10 persen per bulan, M. Zulfirmansyah selaku Direktur Ekonomi KPPU mengklaim bahwa bunga pinjaman FinTech P2P di luar negeri tidak setinggi itu dan rata-rata bunga KTA (Kredit Tanpa Agunan) hanya 1,1 persen per bulan.
Menurut Guntur, praktik kartel menyalahi UU No. 5 Tahun 1999 yang memuat peraturan tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Zulfirmansyah menyampaikan bahwa dugaan tersebut saat ini berada dalam tahap penelitian, dan KPPU sedang mencari setidaknya satu alat bukti agar statusnya bisa dinaikkan ke tahap penyidikan.
Tanggapan OJK tentang Permainan Bunga FinTech
Menanggapi dugaan KPPU terkait permainan bunga pinjaman FinTech, OJK menjelaskan bahwa instansi mereka tidak berwenang mengatur besaran bunga FinTech dan tidak bisa melakukan intervensi.
Diwawancarai di penghujung tahun 2018, Nurhaida yang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK berdalih bahwa bunga pinjaman online P2P merupakan kesepakatan antara pemberi dana pinjol dan peminjam, sifatnya adalah “kontrak” antara kedua belah pihak.
Namun, dalam Indonesia Fintech Forum 2019, Sukarela Batunanggar, Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital, memberikan argumen bahwa penetapan suku bunga pinjaman online besar atau kecil harus dikonsultasikan terlebih dahulu oleh AFPI kepada mereka.
Di sisi lain, Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK tidak menyangkal kenyataan bahwa mekanisme pinjol FinTech P2P lending memberi kesempatan terjadinya kartel karena serupa dengan sistem pasar yang melibatkan perantara. Pengaturan bunga pinjaman uang yang terlalu tinggi sangat mungkin terjadi.
Ketetapan AFPI tentang Bunga Pinjaman FinTech
Kuseryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), membantah dugaan adanya kartel atau permainan yang mengakibatkan bunga pinjaman tinggi dalam praktik pinjam meminjam di dunia FinTech P2P lending.
Ia mengklaim bahwa AFPI menetapkan bunga pinjaman paling tinggi 0,8 persen per hari dengan tujuan melindungi nasabah agar tidak dirugikan sekaligus mendorong kompetisi. Menurutnya, besar bunga pinjaman FinTech diatur sedemikian karena setiap perusahaan pembiayaan FinTech memiliki perhitungan bunga dan biaya tersendiri serta perlu menutup biaya operasional untuk penggunaan teknologi penilaian kredit.
Bagaimanapun, patokan bunga pinjaman online P2P oleh AFPI dipandang rentan terhadap penyalahgunaan karena tidak diatur langsung oleh OJK atau Bank Indonesia.