Benarkah ada asuransi saat meminjam uang di perusahaan fintech? Jika ada, apa manfaatnya bagi nasabah?
Mereka yang pernah meminjam ke bank untuk mendapatkan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mungkin sudah tidak asing dengan asuransi karena bank tentu membebankan biaya / premi asuransi kepada peminjam atau debiturnya. Pentingnya asuransi akan dirasakan oleh nasabah atau ahli warisnya saat terjadi keadaan yang tidak diinginkan.
Namun, dalam produk pinjaman yang lain seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) atau Kredit Multiguna (KMG), khususnya yang ditawarkan perusahaan fintech (teknologi finansial), asuransi bukanlah sesuatu yang umum. Beberapa nama yang tercatat sudah melayani segmen peminjaman peer to peer (P2P) atau fintech misalnya Asuransi Simas Insurtech, Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), dan Adira Insurance.
Tujuan utama adanya asuransi adalah antisipasi terjadinya gagal bayar atau penagihan yang tidak wajar. Baik pemberi maupun penerima pinjaman sama-sama mendapat manfaatnya.
Manfaat Asuransi bagi Nasabah
AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia), dan juga OJK (Otoritas Jasa Keuangan), menghimbau lembaga pembiayaan berbasis fintech atau P2P untuk bekerja sama dengan perusahaan asuransi. Ini merupakan suatu bentuk perlindungan dan jaminan bagi nasabah yang senantiasa menjadi fokus perhatian OJK, kata Wimboh Santoso selaku Ketua Dewan Komisioner OJK.
Meskipun biaya asuransi kemungkinan besar dibebankan ke nasabah pinjaman fintech, baik dalam rupa biaya administrasi ataupun dalam rupa bunga, nasabah tetap dipandang memperoleh manfaat besar dari perlindungan asuransi. Manfaat itu pada dasarnya dirasakan pada saat ia tidak lagi mampu melanjutkan pembayaran cicilan.
Contohnya adalah ketika nasabah penerima pinjaman mengalami setidaknya salah satu keadaan berikut:
- Meninggal dunia akibat kecelakaan, penyakit, atau penyebab alami. Dengan demikian pihak keluarga atau ahli waris tidak perlu menanggung kewajiban finansial peminjam.
- Cacat permanen atau seumur hidup akibat kecelakaan yang membuat peminjam tidak lagi mampu bekerja untuk dapat membayar angsuran.
- Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami oleh peminjam yang adalah karyawan, ketika perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit atau bangkrut.
Celah bagi Nasabah
Saat ini ada ketetapan dari AFPI bahwa perusahaan fintech tidak diperkenankan menagih tunggakan kredit nasabah yang sudah lebih dari 90 hari atau kurang lebih 3 bulan. Kerugian perusahaan fintech karena kredit macet akan ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Ketentuan tersebut, menurut Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko, tercantum dalam kode perilaku AFPI. Dengan demikian perusahaan fintech lending mau tidak mau “wajib” menjalin kerja sama dengan perusahaan asuransi demi mengantisipasi potensi kerugian.
Kenyataan ini sedikit banyak menyisakan celah bagi nasabah lembaga peminjaman fintech. Nasabah mungkin merasa bahwa ia tidak perlu bersusah payah melunasi pinjamannya dengan adanya asuransi. Lagi pula, lembaga fintech itu sendiri sebagai pihak pemberi pinjaman mendapat perlindungan asuransi sehingga nasabah bisa jadi menganggap pemberi pinjaman tidak akan mengejarnya untuk melunasi utang.
Namun, Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK mengingatkan bahwa peminjam semestinya tidak berpikir untuk melarikan diri dari kewajiban membayar cicilan. Menurutnya, data peminjam yang menunggak akan tercatat dalam “blacklist” di Pusat Data Fintech Lending atau Pusdafil dan tidak akan bisa mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan lainnya