Bagi konsumen perusahaan fintech (teknologi finansial), cara penagihan yang melanggar etika dan privasi sering menjadi momok menakutkan. Penagih utang atau debt collector fintech banyak dilaporkan melakukan cara-cara menagih hutang yang berlebihan, mengakibatkan peminjam ketakutan dan bahkan tertekan.
Maka dari itu, mulai Februari 2019, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) mewajibkan field collector dan debt collector untuk mengikuti sertifikasi demi mengantisipasi pelanggaran. Kewajiban demikian kelak menjadi syarat bagi lembaga pembiayaan fintech untuk memperoleh rekomendasi dari AFPI dan izin dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Penyertifikatan Debt Collector Fintech
Penyertifikatan debt collector (terkadang dieja “depkolektor”) adalah proses yang meliputi rangkaian seminar dan berakhir dengan ujian atau tes. Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menyatakan bahwa yang disertifikasi bukan hanya tukang tagih hutang, tetapi juga “komisaris” supaya mereka semua memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Narasumber seminar berasal dari institusi Polri, Badan Siber dan Sandi Negara, dan OJK, sementara tes yang dilakukan mencakup regulasi umum fintech, kode etik AFPI, serta UU ITE. Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menyampaikan bahwa penyedia layanan fintech P2P lending boleh memanfaatkan jasa penagihan pihak ketiga. Namun, tenaga kolektor outsource juga harus mengikuti sertifikasi.
Peraturan OJK tentang Debt Collector
Menurut Agus Fajri, Direktur Pelayanan Konsumen OJK, perusahaan fintech legal hanya boleh menggunakan debt collector sesuai syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016. Kolektor yang bisa direkrut hanya yang bersertifikat, dan lembaga fintech bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat penagihan.
Peraturan No. 35/POJK.05/2018 juga mengizinkan penagihan utang oleh pihak ketiga dengan berbagai persyaratan yang ketat, termasuk memiliki sertifikat penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi bidang pembiayaan dan izin dari instansi berwenang.
UU Perlindungan Konsumen
Berbagai laporan media mengindikasikan bahwa aspek perlindungan konsumen kerap diabaikan penyedia jasa pinjam meminjam berbasis internet, khususnya yang ilegal. Kata Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan Perizinan & Pengawasan Fintech OJK, aplikasi fintech hanya diperbolehkan mengakses fitur kamera, lokasi, dan mikrofon pada ponsel konsumen demi mengantisipasi penyalahgunaan data pribadi, terutama untuk penagihan.
Kenyataannya, menurut Jeanny Silvia Sirait, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, banyak aplikasi berizin OJK yang bisa mengaktifkan dan menonaktifkan WiFi di ponsel peminjam, bahkan mengendalikan keaktifan ponsel. Menurutnya, industri pinjaman online belum diatur dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen dan yang paling dibutuhkan sekarang adalah Undang Undang Perlindungan Data Pribadi.
Sampai kapan debt collector menagih hutang?
Masalah hutang dan penagihan menjadi fokus AFPI dalam program kerjanya saat ini. Menurut Hendrikus, AFPI menetapkan masa penagihan maksimal 90 hari. Peminjam bisa melaporkan pemberi pinjaman yang melakukan penagihan setelah peminjam tidak mampu membayar hutang selama 90 hari. Namun, namanya tercatat sebagai “peminjam bermasalah” dan ia tidak bisa meminjam di bank sebelum melunasinya.
Terlepas dari adanya program sertifikasi ini, calon nasabah sebaiknya menghindari pinjaman KTA untuk kebutuhan konsumtif agar tidak terlilit hutang. Penyalahgunaan data pribadi mungkin tersembunyi di dalam penawaran KTA tanpa BI checking, dan akhirnya nasabah mengalami kesulitan besar saat penagihan.